Jumat, 16 Maret 2012

Salafi Meruntuhkan Khilafah Islam???



Ada-ada saja… Sejumlah orang yang telah putus asa dalam perdebatan secara ilmiah dalam soal agama, berusaha mendelegitimasi manhaj salaf dengan melemparkan fitnah, bahwa kemunculannya yang bergandengan tangan dengan kemunculan dinasti Ibnu Saud, adalah tidak sah karena dituding turut menyumbang pada proses keruntuhan Khilafah Islam Turki Utsmaniyah, berkolaborasi dengan Inggris dan “menjual” Palestina.

Insya Allah dengan mudah kami akan menyingkap kedustaan ini. Akan tetapi, terlebih dahulu kami ingin mengajak para pembaca mengenali faktor-faktor yang menyumbang pada keruntuhan Khilafah Utsmaniyah tersebut, yang sekaligus merupakan gambaran dunia Islam pada periode tersebut. Kemudian kami akan tampilkan keprihatinan dari seorang mualaf terkemuka akan aqidah umat Islam pada masa kontemporer ini.

Faktor-faktor yang menyebabkan keruntuhan Khilafah Utsmaniyah [“Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah” (terjemahan) oleh Dr. Ali Muhammad Ash-Shalibi, Pustaka Al-Kautsar, 2002]:

(1) Pemahaman akan wala’ (loyalitas) dan bala’ (disloyalitas) telah menyimpang dari pemahaman yang benar.

“Orientasi berpikir yang sangat berbahaya ini, tampak sekali dari apa yang dikatakan Sultan Mahmud II (w. 1839 M) sendiri di mana dia mengatakan: ‘Sesungguhnya saya tidak mau – mulai sekarang – untuk membedakan antara kaum Muslimin kecuali di dalam Masjid, dan orang-orang Kristen kecuali di dalam gereja, dan orang-orang Yahudi kecuali di dalam sinagog. Saya ingin selama mereka menyatakan hormat pada saya, mereka semua bisa menikmati persamaan dalam hak-hak mereka dan mendapat perlindungan serupa’…” (hal. 658)

(2) Penyempitan makna ibadah.

“Sesungguhnya kemajuan yang dicapai pemerintah Utsmaniyah pada masa awal keemasannya mencakup semua bidang ilmu pengetahuan, kebangsaan, pemerintahan, dan militer. Gerakan pemerintah dan umat merupakan refleksi nyata dari pemahaman akidah mereka yang menyeluruh. Sedangkan pada masa-masa akhir pemerintah Ustmani, pemahaman ibadah semakin disempitkan hanya pada masalah-masalah ibadah ritual yang dilakukan sebagai tradisi yang diwarisi secara turun-temurun dan tidak memiliki pengaruh apa-apa terhadap pelakunya…Dengan demikian, maka jadilah proses isolasi ibadah ritual dari sisi Islam yang lain terasing dari bagian Islam lainnya seperti jihad, hukum-hukum mu’amalat keuangan…” (hal. 667)

(3) Menyebarnya fenomena syirik, bid’ah dan khurafat.

“Semua wilayah kaum Muslimin seperti Hijaz, Yaman, Afrika, Mesir, Maroko, Irak, Syam, Turki, Iran, Turkistan, dan India, berlomba-lomba untuk membangun kubah-kubah di atas kuburan. Mereka saling berlomba untuk mengagungkannya…” (hal. 676)

“Tempat-tempat ziarah dan kuburan itu menjadi tempat untuk meminta-minta dan memohon pertolongan. Kemusyrikan merajalela di mana-mana, seperti menyembelih binatang yang tidak ditujukan untuk mencari ridha Allah dan bernadzar untuk kuburan. Banyak orang yang meminta-minta disembuhkan penyakitnya di kuburan dan meminta perlindungan padanya...” (hal. 676)

(4) Sufi yang menyimpang.

“Sesungguhnya penyimpangan terbesar yang terjadi dalam sejarah umat ini adalah munculnya kaum Sufi yang menyimpang yang kemudian menjadi sebuah kekuatan yang terorganisir di dalam masyarakat Islam yang mengusung pemikiran, akidah, dan ibadah yang sangat jauh dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Kekuatan dan pengaruh kalangan Sufi yang menyimpang in demikian kuat pada akhir masa pemerintahan Utsmani…” (hal. 679)

(5) Gerakan aktivitas kelompok-kelompok menyimpang.

“Gerakan kelompok menyimpang ini seperti Syi’ah Itsna Asyariyah, Druz, Nushairiyyah, Ismailiyah, Qadiyani, Bahai, dan sekte-sekte agama sesat lainnya yang telah mencemarkan nama Islam.

Gerakan ini menampakkan batang hidungnya, khususnya sejak kedatangan penjajah salibis yang telah menaklukkan umat Islam. Mereka, sebagaimana biasa, selalu bersekutu dengan musuh kaum Muslimin, menjadi pembantu dan tentara yang patuh di bawah kepemimpinan mereka...” (hal. 688)

(6) tidak adanya pemimpin rabbani; (7) penolakan dibukanya pintu ijtihad; (8) menyebarnya kezaliman dalam pemerintahan Utsmani; (9) foya-foya dan tengelam dalam syahwat; (10) perselisihan dan perpecahan.

Situasi dunia Islam kontemporer

Jika pada beberapa abad menjelang keruntuhan Khilafah Utsmaniyah telah sedemikian parah keadaan kaum Muslimin, pada hari ini pun penyimpangan itu masih menyebar dan terlihat sangat nyata, bahkan teramati oleh seorang mualaf (Dr. Murad Wilfred Hoffman, mantan Dubes Jerman di negara-negara Arab Maghribi, mantan Direktur Penerangan NATO di dalam “Trend Islam 2000, GIP, 1997, hal. 91-94).

“Pembicaraan tentang sihir, khurafat, dan membaca nasib – setelah pembicaraan kita tadi – menjadi masalah remeh, karena ia memang remeh. Akan tetapi, hal itu menyebabkan timbulnya banyak kejijikan Barat terhadap Islam. Jika seseorang pernah melihat apa yang terjadi seputar makam Murabithin di Maghribi, ia dengan mudah akan menarik kesimpulan bahwa Islam adalah agama a-rasional yang dianut hanya oleh orang-orang terbelakang…

Penyimpangan-penyimpangan ini – terjadi dalam Islam melalui beberapa kelompok tasawwuf – terutama semenjak abad XIII. Tarikat-tarikat sufi mengajarkan agar sang murid secara bulat menyerahkan dirinya kepada syakihnya. Masalah ini membuat Barat merasa jijik…Sikap berlebihan dalam menghormati wali-wali menunjukkan kebutuhan masyarakat akan sesuatu yang suci yang bisa disentuh manusia, atau dengan kata lain: mewujudkan yang suci. Umat Islam di negara-negara Kristen menciptakan Almasih mereka yang bisa dicium, seperti para darwisy, para wali shalih, dan para sufi.

Hal seperti ini tidak bisa ditolerir. Pencarian perantara (antara hamba dan Tuhannya) bertentangan dengan prinsip akidah Islam yang terpenting.

Aku mengusulkan agar dunia Islam – dalam masalah ini – untuk kembali ke pokoknya yang bersih, yang tidak mensakralkan wali-wali. Juga perlu ditulis sejarah Nabi SAW yang bersih dari mitos dan khurafat, untuk turut berperan dalam lingkup dakwah…”

Di negeri kita, fenomena kesyirikan semakin menjadi-jadi sejak ditetapkannya demokrasi liberal sebagai platform resmi negara ini.

Pergantian kekuasaan untuk sebuah misi baru

Penyakit kronis yang menghinggapi kaum Muslimin, khususnya pada pemerintahan Khilafah Utsmaniyah, membuatnya kehilangan kapasitas dan kapabilitasnya untuk terus mengemban tugas dakwah, sebuah tugas pokok bagi sebuah khilafah Islam. Maka wajar saja jika Allah menyiapkan sebuah kekuatan baru untuk menggantikannya, sebuah kekuatan yang masih murni, dengan misi memurnikan kembali agama Islam dan melanjutkan tugas dakwah; ia adalah kaum Wahhabi!!!

Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah bersabda (artinya),

“Sesungguhnya Islam bermula dengan asing dan akan kembali asing sebagaimana ia bermula. Maka berbahagialah orang-orang yang asing.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)

Di tengah mayoritas kaum Muslimin yang tidak lagi mengenal bentuk asli dari agama Islam, maka wajar saja ketika bentuk asli itu ditampilkan kembali, ia terlihat asing!

Kini di seluruh dunia, dan di dunia Islam khususnya, dakwah Wahhabi telah dikenal, baik untuk diterima maupun untuk dihina dan ditolak. Di Arab Saudi masyarakatnya adalah masyarakat dengan tatanan Wahhabi. Praktis pada setiap negeri Muslim ada masyarakat Wahhabi, baik dominan maupun minoritas. Kini tak ada seorang Muslim pun yang dapat berhujjah di akhirat kelak, bahwa ia tidak menemukan rujukan agama Islam yang murni!

Setiap misi mempunyai (sekelompok) pemimpin yang khusus untuk mengemban misi tersebut. Jika jeli, niscaya kita akan melihat bahwa misi yang diembankan ke pundak Keluarga Al-Saud ini, yang telah dibekali dengan modal kekayaan berlimpah, hampir berakhir. Jihad dengan pena, sebagai sebuah periode konsolidasi, hampir berakhir untuk digantikan dengan jihad dengan pedang. Analisis situasi kami menunjukkan, wallahua’lam, bahwa Khalifah kaum Muslimin, Imam Mahdi, insya Allah akan segera muncul untuk memimpin Jihad Akbar sebagai bab penutup dari perjalanan hidup kaum Muslimin di dunia ini!

Menjawab tuduhan

OK, sekarang waktu untuk menanggapi tuduhan.

Pertama-tama kita perlu mengetahui teritorial Khilafah Islam Turki Utsmaniyah dari masa ke masa.

Perubahan teritorial Turki Utsmaniyah sejak awal berdirinya dapat dilihat pada peta berikut ini. Perhatikanlah bahwa pada Jazirah Arab hanya tepian baratnya saja yang mereka akui dan kuasai.



Pada abad 19 M hingga khilafah tersebut runtuh pada 1924, situasi di Jazirah Arab tidak berubah, yakni mereka hanya mengakui dan menguasai tepian barat dari Jazirah Arab. Perhatikanlah peta berikut ini.



Oleh karena itu, setiap suku yang berada di luar teritorial ini, khususnya di wilayah Najd, berhak menegakkan otoritasnya sendiri. Dalam hal ini otoritas tersebut akan dilegitimasi dengan kekuatan senjata; siapa yang kuat dialah yang menjadi penguasa.

Sekarang waktunya untuk melihat kronologis berdirinya Kerajaan Arab Saudi (Wikipedia: Saudi Arabia – kami terjemahkan)

“Pada abad ke-16, Utsmani menambahkan pantai Laut Merah dan Teluk Persia ke dalam imperiumnya dan mengklaim kekuasaan atas wilayah tersebut. Tingkat pengendalian atas wilayah-wilayah ini berubah-ubah selama empat abad selaras dengan berubahnya kekuatan atau kelemahan otoritas pusat Imperium. Kemunculan apa yang kini dikenal sebagai keluarga kerajaan Saudi, dikenal sebagai Al-Saud, dimulai di Najd di Arabia tengah pada 1744, ketika Muhammad bin Saud, pendiri dinasti tersebut, bekerjasama dengan ulama Muhammad bin Abdul al-Wahhab, gerakan pemurnian Islam yang ketat dari Islam Sunni. Aliansi ini yang terbentuk pada abad ke-18 memberikan cikal bakal ideologis bagi perluasan Saudi dan merupakan basis dari penguasa dinasti Arab Saudi saat ini. Negara Saudi pertama berdiri pada 1744 di daerah sekitar Riyadh, secara cepat meluas dan mengendalikan sebagian besar wilayah yang kini merupakan wilayah Arab Saudi, tetapi telah dihancurkan pada 1818 oleh penguasa Utsmani di Mesir, Muhammad Ali Pasha. Sebuah negara Saudi kedua yang jauh lebih kecil, berlokasi terutama di Najd, berdiri pada 1824. Sepanjang abad ke-19, Al-Saud menantang kendali bagian dalam (interior) wilayah yang akan menjadi Arab Saudi dengan keluarga penguasa Arab lainnya, Al-Rashid. Pada 1891, Al-Rashid menang dan Al-Saud dikirim ke pengasingan.

Pada permulaan abad-20, Imperium Utsmani melanjutkan kendali atau penguasaan (walaupun nominal) atas sebagian besar jazirah Arab. Tunduk terhadap kekuasaan ini, Arabia diperintah oleh berbagai pemimpin suku (termasuk Keluarga Al-Saud yang telah kembali dari pengasingan pada 1902) dengan Sharif Mekkah yang unggul dan memerintah Hijaz. Pada 1916, dengan dorongan dan dukungan Inggris (yang tengah berperang dengan Utsmani pada Perang Dunia I), Sharif Mekkah, Hussein bin Ali, memimpin suatu revolusi pan-Arab melawan Imperium Utsmani untuk membentuk sebuah negara Arab bersatu. Walaupun Revolusi Arab pada 1916 s/d 1918 gagal mencapai tujuannya, Arabia merdeka dari kekuasaan Utsmani setelah kekalahan Utsmani pada Perang Dunia I.


Arab pada 1923: Wilayah Abdul Aziz pada warna biru dengan tanggal penaklukan. Kerajaan Hijaz ditaklukkan pada 1925, yaitu berwarna hijau muda. (Kerajaan bani Hasim di Irak dan Transjordan juga berwarna hijau)

Pada 1902, Abdul Aziz bin Saud, pemimpin Keluarga Al-Saud, telah menduduki Riyadh di Najd dari Al-Rashid – seri pertama dari penaklukan yang berujung pada terbentuknya negara modern Arab Saudi pada 1932. Senjata utama dalam meraih penaklukan ini adalah ikhwan, tentara suku badui-wahhabi yang dipimpin oleh Sultan bin Bijad dan Faisal al-Dawish. Dari jantung Saudi di Najd, dan dibantu oleh keruntuhan Imperium Utsmani setelah Perang Dunia I, Ikhwan telah menyelesaikan penaklukan wilayah yang menjadi Arab Saudi pada akhir 1925. Pada 10 Januari 1926 Abdul Aziz mendeklarasikan dirinya sebagai Raja Hijaz dan pada 27 Januari 1927 ia mengambil gelar Raja Najd (gelar sebelumnya adalah Sultan).

Setelah penaklukan Hijaz, para pemimpin Ikhwan ingin melanjutkan perluasan kekuasan wahhabi ke wilayah protektorat Inggris di Transjordan, Irak dan Kuwait, dan mulai bergerak ke wilayah-wilayah itu. Namun demikian, Abdul Aziz menolak menyetujui hal ini, karena mencium bahaya konflik langsung dengan Inggris. Ikhwan kemudian melakukan revolusi tetapi dikalahkan dalam Pertempuran Sabilla pada 1930, di mana pemimpin Ikhwan dibunuh.

Pada 1932, kedua kerajaan Hejaz dan Najd disatukan menjadi Kerajaan Arab Saudi.”

Informasi di atas menunjukkan bahwa satu-satunya kontak antara Keluarga Al-Saud dan Khilafah Utsmani terjadi pada 1818 di mana mereka dihancurkan oleh Gubernur Mesir Muhammad Ali Pasha. Perang antar penguasa telah menjadi hal yang biasa dalam sejarah Islam dalam memperebutkan wilayah. Setiap kemenangan dan kekalahan dapat ditelusuri dari amal-amal kedua belah pihak, karena - sebagaimana dijelaskan oleh Khalifah Umar bin Khathtab - ketika dua pihak berperang, sesungguhnya yang berperang adalah amal-amalnya. Barangkali ketika itu Keluarga Al-Saud memiliki tujuan politik, berupa perluasan wilayah kekuasaan, yang jauh lebih dominan daripada tujuan agama, sehingga Allah menimpakan kekalahan telak kepada mereka. Wallahua’lam.

Perang antara Khilafah Turki Utsmaniyah dengan Kerajaan Al-Saud generasi pertama pada 1818 tidak dapat disebut sebagai pemberontakan karena Al-Saud mendirikan kerajaannya di luar kekuasaan Utsmaniyah (lihat kembali peta di atas). Peperangan itu sendiri adalah adu kekuatan untuk memperluas wilayah kekuasaan bagi Al-Saud dan mempertahankan wilayah kekuasaan bagi Khilafah Turki Utsmaniyah, sebagaimana Sultan Salim I dari Kerajaan Utsmaniyah mengadu kekuatan pada perang 1517 guna memperluas wilayahnya dengan berupaya merebut Mesir yang berusaha dipertahankan oleh Kerajaan Mamluk yang berkedududkan di Mesir.

Sesungguhnya misi dari dakwah Wahhabi adalah misi agama. Oleh karena itu tujuan-tujuan agama mesti berada di depan daripada gerakan politiknya. Apa untungnya menantang Inggris pada 1930, jika itu hanya akan menyibukkan mereka dalam peperangan yang akan menghilangkan kestabilan politik, lalu hilang pula kestabilan dalam berdakwah, lalu terhentilah misi pemurnian Islam? Inilah di antara hikmah dari penolakan Raja Ibnu Saud untuk menantang Inggris di wilayah protektoratnya. Wallahua’lam.

Sebuah pertanyaan penting yang patut diajukan adalah: Siapakah orang paling berhak untuk menilai situasi di teritorial Khilafah Turki Utsmaniyah pada periode di pergantian abad yang kritis tersebut? Tak lain dan tak bukan, dia adalah khalifah itu sendiri. Pada masa-masa yang kritis tersebut berkedudukan sebagai khalifah adalah Sultan Abdul Hamid II yang berkuasa dari 1876 M s/d 1909 M, yaitu sampai dengan ketika ia dicopot dari kedudukannya oleh bangsa Turki sendiri.

Kalau begitu, sebaiknya kita periksa saja catatan harian yang beliau tinggalkan, barangkali ia ada sedikit bercerita tentang “pemberontakan” di Jazirah Arab.

Buku “Catatan Harian Sultan Abdul Hamid II” (terjemahan dari buku aslinya berjudul “Mudzakkiratu as-Sulthan ‘Abdul Hamid” oleh Dr. Muhammad Harb, Penerbit Pustaka Thariqulizzah, 2004), berisi semua kenangan dan analisis oleh Sultan Abdul Hamid II tentang situasi ketika ia masih menjadi khalifah hingga hari-hari terakhir menjelang wafatnya, yang ditulisnya di istana tempat ia diasingkan.

Catatan harian tersebut terdiri dari 82 subjudul, sesuai dengan pokok-pokok pikiran yang hendak ia tulis. Dari jumlah subjudul tersebut kebanyakan adalah mengenai pergolakan politik di wilayah Turki (pada masa pemerintahan beliau dan sesudahnya) serta perang dengan bangsa-bangsa Eropa. Ketika kami coba mencari tema tentang Jazirah Arab, yang ditemukan adalah subjudul “Jamaluddin al-Afghani” pada hal. 125. Isinya adalah sebagai berikut:

“Telah sampai kepadaku sebuah tulisan yang dipersiapkan oleh Kementrian Luar Negeri Inggris tentang seorang pelawak yang bernama Jamaluddin al-Afghani. Inggris mengklaim bahwa orang tersebut bersama dengan Blant telah membuat pernyataan untuk menjauhkan Khilafah dari bangsa Turki. Dia juga mengusulkan kepada Inggris untuk segera mengumumkan Gubernur Makkah, Syarif Husain, sebagai Khalifah bagi kaum Muslimin.

Aku sendiri sangat mengenal Jamaluddin al-Afghani. Dia tinggal di Mesir dan dia adalah seorang manusia yang berbahaya. Suatu saat dia mengusulkan kepadaku – dia menamakan dirinya sebagai al-Mahdiyah – bahwa dia akan menggerakkan seluruh kaum Muslimin Asia Tengah. Aku tahu bahwa dia tidak akan mampu melakukannya. Dia adalah kaki tangan Inggris, dan sudah pasti Inggris telah mempersiapkan orang tersebut sebagai sumber informasinya. Aku menolak usulannya, maka dia pun bersekutu dengan Blant…”

Pernyataan Khalifah tersebut dikukuhkannya kembali pada hal. 133 sebagai berikut:

“Aku tahu sebelumnya bahwa eksplorasi minyak bumi di al-Aflaq, Rumania, para ahli geologi telah melakukan pengeboran sejumlah sumur, dan mereka memperoleh minyak.

Tidak lama setelah itu, Duta Besar Inggris mengunjungiku, dengan alasan ingn mengatakan kepadaku berita yang lainnya. Dia berkata bahwa bagian terbesar daratan Suriah dan Hijaz adalah gurun pasir, kondisinya kering kerontang karena tidak ada sumber air. Oleh sebab itu dia menemui kesulitan untuk mengembangkan dan memakmurkan daerah tersebut. Karenanya pemerintah Inggris – jika aku menyetujuinya – atas nama kemanusiaan bersedia untuk membuka sejumlah sumur air di sana. Namun untuk hal itu ada sejumlah syarat, yaitu apabila selesai penggalian air dan terbentuk dam, maka mereka memperbolehkan penggunaan air itu untuk para penduduk, namun mereka tetap sebagai pemilik sumber air itu.

Sesungguhnya, kesepakatan itu sendiri tidak seperti yang aku inginkan.

Aku menolak usulan tersebut, sekaligus secara resmi sumur-sumur yang telah mereka buka di daerah Moshul dan Baghdad harus dittutup kembali. Inggris sangat kecewa dan marah, seraya meninggalkan sumur-sumur tersebut begitu saja. Namun mereka mulai memusatkan perhatiannya untuk merecoki urusan Khilafah dengan menjadikan Jamaluddin al-Afghani sebagai perantara untuk merealisir cita-cita mereka, dan meraih tujuan pokoknya, yaitu dengan menempatkan seorang Amir di wilayah Hijaz.

Di dalam catatan hariannya, tidak sekali pun Khalifah membicarakan soal Najd atau pun gerakan Ibnu Saud dan Wahhabi. Hal ini menunjukkan bahwa Najd, Ibnu Saud, dan Wahhabi sama sekali bukan masalah bagi Khilafah Islam pada masa pemerintahannya.

Sebaliknya, sekarang kita mengetahui, bahwa yang menjadi masalah sebenarnya adalah poros Jamaluddin al-Afghani – Gubernur Mekkah Syarif Hussain – Inggris.

Sebelum melanjutkan analisis kita perlu mengklarifikasi Jamaluddin al-Afghani. Sepak terjangnya dan tudingan Khalifah Abdul Hamid II membuat kita layak waspada, barangkali ia seorang Syi’ah yang memang sepanjang sejarah kaum Muslimin terbiasa menikam kaum Muslimin dari belakang.

Dari Wikipedia (Jamal-al-Din al-Afghani) kita mendapatkan klarifikasi (kami terjemahkan) sebagai berikut:

“Sayyid Muammad ibn afdar Husaynī , yang lebih dikenal sebagai Sayyid Jamāl-ad-Dīn al-Afghān dan Sayyid Jamal-ad-Din Asadabadi (lahir 1838, w. 9 Maret 1897), adalah seorang aktivis politik dan ideologis Islam di dunia Islam selama akhir abad ke-19, khususnya di Timur Tengah, Asia Selatan dan Eropa. Salah satu pendiri modernisme Islam dan pembela kesatuan pan-Islamisme, ia telah digambarkan sebagai “kurang tertarik pada teologi daripada mengorganisir tanggapan Muslim terhadap tekanan Barat.”

Awal kehidupannya dan asal-usulnya

Ia mengklaim sebagai seorang berasal dari Afghanistan selama sebagian hidupnya, tetapi bukti-bukti menunjukkan bahwa ia lahir di Iran. Walaupun beberapa sumber lama mengklaim bahwa Asadabadi lahir di distrik Propinsi Kunar di Afghanistan yang juga disebut Asadabad, terdapat dokumentasi yang berlimpah (khususnya koleksi surat-surat yang ada di Iran mengenai pengusirannya pada 1891) kini membuktikan bahwa ia lahir di Iran, di desa Asadabad dekat kota Hamadan dari keluarga Sayyid. Catatan-catatan menunjukkan bahwa ia menghabiskan masa kecilnya di Iran dan dibesarkan sebagai Muslim Syi’ah. Menurut bukti yang ditinjau ulang oleh Nikki Keddie, ia pertama-tama dididik di rumah kemudian dibawa oleh ayahnya untuk pendidikan lanjutan ke Qazvin, ke Teheran, dan akhirnya, selagi ia masih muda, ke kota suci Syi’ah di Irak. Diyakini bahwa pengikut pembaharu Syi’ah Syaikh Ahmad Ahsa’i mempunyai pengaruh pada dirinya. Sebagai etnis Persia, al-Afghan mengklaim sebagai seorang Afghan agar dapat menampilkan dirinya sebagai seorang Muslim Sunni dan terhindar dari tekanan oleh penguasa Iran Nashiruddin Shah. Salah satu dari pesaing utamanya, Syaikh Abul-Huda, menyebutnya Muta’afghin (orang yang mengklaim sebagai Afghan) dan mencoba membuka akar Syi’ahnya.

Nama lain yang digunakan oleh al-Afghan adalah al-Kabuli dan al-Istanbuli. Khususnya dalam tulisannya yang dipublikasikan di Afghanistan, ia juga menggunakan nama samara al-Rumi.”

Benar saja! Sekarang semuanya menjadi jelas, mengapa Sayyid Jamaluddin al-Farisi bersedia menjadi calo dalam memuluskan Sayyid Hussein sebagai Khalifah kepada Inggris meskipun dengan mengkhianati Khilafah Islam. Ia ingin menegakkan Khilafah Islam versinya sendiri dengan Khalifah yang seideologi dengannya. Sebagai seorang politikus tentu ia dapat membaca arah angin, bahwa telah berdiri sebuah kekuatan baru di Najd dengan misi pemurnian Islam. Ide-ide “pemurnian Islam” tentu sangat meresahkan dirinya, dan ia tahu “apa yang harus ia lakukan.”

Dalam “Hussein bin Ali, Sharif of Mecca” pada Wikipedia dimuat (kami terjemahkan):

“Sayyid Hussein bin Ali (1854 – 4 Juni 1931) adalah Sharif Mekkah dan Amir Mekkah, dari 1908 hingga 1917, ketika ia memproklamirkan dirinya sebagai Raja Hijaz, yang mendapat pengakuan internasional. Ia memulai Revolusi Arab pada 1916 melawan Imperium Utsmaniyah yang semakin menjadi nasionalistik selama berjalannya Perang Dunia Pertama. Pada 1924, ketika Khilafah Ustmaniyah dibubarkan, ia selanjutnya memproklamirkan dirinya sebagai Khalifah bagi seluruh kaum Muslimin. Ia memerintah Hijaz hingga 1924, ketika, dikalahkan oleh Abdul Aziz al-Saud, ia menyerahkan kerajaan dan semua gelarnya kepada anak lekakinya yang tertua Ali.”

Jelas sekali, selaras dengan catatan harian Khalifah Abdul Hamid II, Sharif - Sayyid Hussein adalah seorang pemberontak. Ia dikalahkan oleh Ibnu Saud pada 1924, tepat ketika Khilafah Utsmaniyah telah runtuh.

Mata-mata penghubung antara dunia Arab dan Inggris

Pada masa Revolusi Arab untuk melepaskan dirinya dari Khilafah Islam, terdapat seorang agen rahasia Inggris yang sangat terkenal, T. E. Lawrence. Kita akan memeriksa, kepada siapa ia berhubungan selama periode perang tersebut.

(Wikikedia: T.E. Lawrence – kami terjemahkan)

Selama perang, Lawrence berperang bersama tentara lokal Arab di bawah komando Amir Faisal, putera dari Sharif Hussein di Mekkah, dalam operasi-operasi gerilya yang berkepanjangan melawan angkatan bersenjata dari Imperium Utsmaniyah. Ia membujuk orang-orang Arab agar tidak melakukan serangan frontal pada kubu Utsmaniyah di Madinah, melainkan cukup dengan membiarkan tentara Turki terikat di garnizun kota tersebut. Kemudian orang-orang Arab bebas mengerahkan sebagian besar upaya mereka pada titik terlemah Turki, yaitu jalur kereta api Hijaz yang memasok kebutuhan garnizun tersebut. Hal ini sangat memperluas medan pertempuran dan mengikat lebih banyak lagi tentara Utsmaniyah, yang kemudian terpaksa menjaga jalur kereta api dan memperbaiki kerusakan yang terus-menerus muncul…”

Jelas sekali, T.E. Lawrence adalah sekutu dan penasihat Sayyid Hussein dalam upaya meruntuhkan Khilafah Islam.

[Pesta Amir Faisal di Versailes, selama Konperensi Damai Paris 1919. Kiri hingga kanan: Rustum Haidar, Nuri as-Said, Pangeran Faisal (depan), Kapten Pisani (belakang), T.E. Lawrence, budak hitam Faisal (nama tidak diketahui), Kapten Hassan Khadri.]

Informasi yang selaras kita dapati pada artikel Wikipedia berjudul “Siege of Medina” (Pengepungan Madinah – kami terjemahkan)

“Kejadian

Pada Juni 1916 Sharif Hussein, penguasa kota Mekkah dari bani Hashim, melakukan revolusi terhadap Imperium Utsmaniyah yang, di bawah penguasa Turki Muda, ketika itu telah memulai gerakan ke arah nasionalisme etnis dan tengah mengecilkan kekuasaan Khalifah. Hussein ingin bergerak ke utara dan menciptakan sebuah negara Arab dari Yaman hingga Damaskus dan memapankan Khilafah bani Hashim. Ketika itu Madinah sangatlah penting dan terhubung dengan Imperium Utsmaniyah melalui jalur kereta api. Pasukan Hussein mengepung Madinah, mulai dari 1916 hingga Januari 1919.

Dengan dukungan Inggris, sebuah serangan awal dipimpin oleh Faisal, anak lelaki Hussein, dilancarkan terhadap Madinah pada Oktober 1916; namun demikian, pasukan Arab dipukul mundur dengan kerugian besar oleh pasukan Turki, yang memiliki kubu perlindungan yang baik dan diperlengkapi dengan artileri, yang tidak dimiliki pasukan Arab. Ketika Revolusi Arab secara perlahan-lahan menyebar ke arah utara sepanjang Laut Merah (yang berujung pada pendudukan Aqabah), strategi Inggris dan Arab untuk menaklukkan Madinah berubah, dan Faisal dan para penasihatnya menetapkan bahwa orang-orang Arab akan mendapatkan keuntungan dengan meninggalkan Madinah yang tak terduduki; hal ini akan memaksa Turki mempertahankan tentaranya untuk mempertahankan Madinah, dan melindungi jalur kereta api Hijaz, satu-satunya cara untuk memasok kota tersebut.

Untuk tujuan ini, Nuri as-Said mendirikan kamp pelatihan militer di Mekkah di bawah pengawasan Aziz al-Masry. Dengan menggunakan kombinasi sukarelawan Badui, perwira Arab dan desertir Arab Ustmaniyah yang ingin bergabung dalam Revolusi Arab, Al-Masry menciptakan tiga brigade infanteri, sebuah brigade berkuda, sebuah brigade zeni, dan tiga kelompok artileri yang berbeda yang terdiri dari berbagai meriam dan senapan mesin kaliber berat. Dengan total kekuatannya sebanyak 30.000 orang, Al-Masry mengusulkan agar ia dibagi menjadi tiga kesatuan tentara:

  • Tentara Wilayah Timur, di bawah komando Pangeran Abdullah bin Hussein, akan bertanggung jawab pada pengepungan Madinah dari timur.
  • Tentara Wilayah Selatan, di bawah komando Pangeran Ali bin Hussein, akan memastikan terbentuknya sabuk pengepungan di sekitar Madinah dari selatan.
  • Tentara Wilayah Utara, di bawah komando Pangeran Faisal, akan membentuk sabuk pengepungan di sekitar Madinah dari utara.

Tentara-tentara ini mempunyai campuran perwira Inggris dan Perancis yang diperbantukan kepada mereka untuk memberikan saran-saran taktis militer. Salah satu perwira tersebut adalah T.E. Lawrence.

Komandan tentara Utsmaniyah di Madinah adalah Fakhri Pasha. Ia tidak menyerah bahkan setelah akhir dari peperangan walaupun ada permintaan (menyerah) dari Sultan Utsmaniyah. Pada akhirnya anggota pasukannya mengalami kelaparan akibat kekurangan pasokan dan tentara yang tersisa termasuk Fakhri Pasha ditangkap.”

Perjanjian rahasia pengaplingan wilayah Khilafah Utsmaniyah

Sekarang kita sampai pada poin: adakah dokumen yang menjelaskan perjanjian rahasia yang berupaya mengapling-ngapling wilayah Khilafah Utsmaniyah? Ya, ada, yaitu Sykes-Picot Agreement.

Mari kita telanjangi Perjanjian Sykes–Picot tersebut! (Wikepedia: Sykes–Picot Agreement – kami terjemahkan)


Perjanjian Sykes-Picot pada 1916, yang secara resmi dikenal sebagai ‘Perjanjian Asia Kecil’ (Asia Minor Agreement), adalah sebuah kesepakatan rahasia antara pemerintahan Inggris dan Perancis, dengan persetujuan Rusia, yang menggambarkan pengaruh global dan pengendalian masing-masing negara tersebut di Asia Barat setelah perkiraan keruntuhan Imperium Utsmaniyah selama Perang Dunia I. Secara efektif ia membagi-bagi provinsi-provinsi Arab Utsmaniyah di luar Jazirah Arab menjadi wilayah-wilayah di bawah pengaruh dan kendali Inggris dan Perancis di masa depan. Persetujuan tercapai pada 16 Mei 1916. Pasal-pasal dinegosiasikan oleh diplomat Perancis Francois Georges-Picot dan diplomat Inggris Sir Mark Sykes. Pemerintahan Tsar Rusia merupakan pihak minoritas dalam perjanjian Sykes-Picot dan ketika, mengikuti Revolusi Rusia pada Oktober 1917, kaum Bolsheviks mengungkapkan perjanjian tersebut sebagai: ‘Inggris dipermalukan, Arab cemas dan Turki gembira.’

Penjatahan Wilayah

Inggris diberi jatah kendali wilayah yang secara garis besar terdiri dari tepi pantai antara laut dan Sungai Yordania, Yordania, selatan Irak, dan sebuah wilayah kecil termasuk pelabuhan Haifa dan Akre, agar mendapatkan jalan tembus ke Mediterania. Perancis diberi jatah kendali atas Turki tenggara, Irak utara, Suriah dan Libanon. Rusia akan mendapatkan Istambul, Selat Turki dan wilayah Armenia Utsmaniyah. Para negara Adi kuasa itu dibiarkan bebas untuk memutuskan batas-batas negara di dalam wilayah-wilayah tersebut. Negosiasi lebih lanjut diharapkan dapat menentukan adminstrasi internasional yang belum dikonsultasikan dengan Rusia dan kekuatan-kekuatan lainnya, termasuk Sharif Mekkah.

Janji-janji yang bertentangan

Lord Curzon mengatakan bahwa negara adi daya masih setia dengan Perjanjian Reglement Organique yang menyangkut wilayah Libanon pada Juni 1861 dan September 1864, dan bahwa hak yang diberikan kepada Perancis di wilayah biru pada Perjanjian Sykes-Picot tidak sesuai dengan perjanjian tersebut. Perjanjian Reglement Organique adalah perjanjian internasional menyangkut pemerintahan dan non-intervensi pada masalah Maronit, Ortodoks, Druze, dan masyarakat Muslim.

Pada Mei 1917, Ormsby-Gore menulis “Tujuan Perancis di Suriah tidak cocok dengan tujuan perang Sekutu sebagaimana yang disampaikan kepada Pemerintah Rusia. Jika penentuan nasib sendiri dari warga negara adalah merupakan prinsipnya, campur tangan Perancis dalam pemilihan para penasihat kepada Pemerintahan Arab dan usulan Perancis mengenai para amir yang akan dipilih oleh orang-orang Arab di Mosul, Alepo, dan Damaskus akan terlihat tidak cocok dengan ide kami dalam memerdekakan negara-negara Arab dan memapankan sebuah negara Arab yang bebas dan merdeka. Pemerintah Inggris, dalam mengukuhkan surat-surat yang dikirimkan kepada Raja Husssein sebagai kepala negara Arab konsisten dengan keinginan Perancis untuk membuat tidak hanya Suriah melainkan Mesopotamia sebelah utara sebagai semacam Tunis lain. Jika dukungan kami kepada Raja Hussein dan para pemimpin Arab lainnya yang asal-usul dan prestisenya kurang dikenal mempunyai arti, ini berarti bahwa kami bersiap untuk mengakui kemerdekaan penuh dari orang-orang Arab di Arabia dan Suriah. Nampaknya kini waktunya untuk memberitahu Pemerintah Perancis mengenai pernyataan terperinci kami kepada Raja Hussein, dan untuk menjelaskan kepada Raja Hussein apakah ia atau orang lain yang akan menjadi penguasa Damaskus, yang mungkin akan menjadi ibu kota negara Arab, yang dapat memerintah Amir-amir Arab lainnya.”

Banyak sumber melaporkan bahwa perjanjian ini bertentangan dengan Korespondensi Hussein-McMahon pada 1915-1916. Juga telah dilaporkan bahwa publikasi Perjanjian Sykes-Picot menyebabkan pengunduran diri Sir Henry McMahon. Namun demikan, rencana Sykes-Picot itu sendiri menyatakan bahwa Perancis dan Inggris Raya bersiap-siap menerima dan melindungi sebuah negara Arab merdeka, atau Konfederasi Negara-negara Arab, di bawah kekuasaan seorang pemimpin Arab di dalam wilayah bertanda A dan B pada peta. Tak ada rencana menghindari pemerintahan raja-raja Arab di wilayah-wilayah yang tersisa.

Pertentangan berasal dari Penyelesaian secara pribadi Inggris-Perancis, pasca-perang, 1-4 Desember 1918. Penyelesaian tersebut dinegosiasikan antara Perdana Menteri Inggris Lloyd George dan Perdana Menteri Perancis Geoges Clemenceau dan menyebabkan banyak dari garansi dalam perjanjian Hussein-McMahon menjadi tidak sah. Penyelesaian tersebut bukan merupakan bagian dari Perjanjian Sykes-Picot. Sykes tidak berhubungan dengan kantor (Inggris di) Kairo yang telah berkorespondensi dengan Sharif Hussein bin Ali, tetapi ia (Sykes) dan Picot mengunjungi Hijaz pada 1917 untuk mendiskusikan perjanjian dengan Hussein. Pada tahun yang sama ia dan seorang dari perwakilan Kementrian Luar Negeri Perancis menyerahkan sebuah pernyataan publik kepada Kongres Suriah di Paris mengenai unsur-unsur non-Turki dari Imperium Utsmaniyah, termasuk membebaskan Yerusalem. Ia menyatakan bahwa fakta dari kemerdekaan Hijaz menyebabkannya hampir tidak mungkin menolak adanya suatu otonomi yang efektif dan nyata untuk Suriah.

Sumber konflik terbesar adalah Deklarasi Balfour 1917. Lord Balfour menulis sebuah memorandum dari Konperensi Perdamaian Paris yang menyatakan bahwa sekutu-sekutu lainnya telah secara implisit menolak perjanjian Sykes-Picot dengan mengadopsi sistem mandat. Ini membolehkan bagi non-aneksasi, preferensi perdagangan, atau keuntungan-keuntungan lainnya. Ia juga menyatakan bahwa Sekutu tetap setia dengan Zionisme dan tidak mempunyai maksud untuk menghormati janji-janji mereka kepada pihak Arab…

Kejadian-kejadian setelah pengungkapan rencana tersebut kepada publik

Klaim-klaim Rusia pada Imperium Utsmaniyah telah disangkal dengan terjadinya Revolusi Bolshevik, dan kaum Bolshevik membuka ke publik salinan Perjanjian Sykes-Picot (demikian pula perjanjian-perjanjian lainnya). Mereka mengungkapkan teksnya secara lengkap di koran Izvestia dan Pravda pada 23 November 1917, diikuti oleh the Manchester Guardian yang mencetak teks-teks tersebut pada 26 November 1917. Hal ini menyebabkan rasa malu yang sangat besar antara pihak sekutu dan timbulnya rasa saling tidak percaya di antara mereka dan pihak Arab. Kaum Zionis juga sama kesalnya dengan Perjanjian Sykes-Picot dibuka ke publik hanya tiga minggu setelah Deklarasi Balfour.

Deklarasi Inggris-Perancis November 1918 menyatakan bahwa Inggris Raya dan Perancis akan membantu dalam menyusun pemerintahan dan administrasi lokal di Suriah dan Mesopotamia dengan “menyiapkan pemerintahan dan administrasi nasional berdasarkan otoritas mereka memilih penduduk lokal.” Perancis dengan enggan menyetujui penerbitan deklarasi tersebut atas desakan Inggris. Catatan dari rapat Kabinet Perang Inggris mengungkapkan bahwa Inggris telah menyebutkan hukum penaklukan dan pendudukan militer untuk menghindari pembagian pemerintahan tersebut dengan Perancis di bawah sebuah rezim sipil. Inggris menekankan bahwa pasal-pasal deklarasi Inggris-Perancis telah menggantikan Perjanjian Sykes-Picot agar dapat menjustifikasi negosiasi yang baru atas penjatahan wilayah Suriah, Mesopotamia, dan Palestina.

Pada 30 September 1918 para pendukung Revolusi Arab di Damaskus menyatakan loyalitasnya kepada Sharif Mekkah. Ia telah dinyatakan sebagai ‘Raja Arab’ oleh sebagian kecil pemimpin agama dan para pemuka lainnya di Mekkah. Pada 6 Januari 1920 Faisal (putera Hussein) memulai suatu perjanjian dengan Clemenceau yang mengakui ‘hak Suriah untuk bersatu dan pemerintahan sendiri sebagai sebuah negara merdeka.’ Sebuah rapat Kongres Pan-Suriah di Damaskus telah mendeklarasikan suatu negara Suriah yang merdeka pada 18 Maret 1920. Negara baru tersebut meliputi bagian-bagian dari Suriah, Palestina, dan Mesopotamia utara. Raja Faisal dideklarasikan sebagai kepala negara. Pada saat yang sama Pangeran Zaid, saudara Faisal, dideklarasikan sebagai penguasa dari Mesopotamia.

Konperensi San Remo dengan terburu-buru diselenggarakan. Inggris Raya dan Perancis serta Belgia kesemuanya menyetujui untuk mengakui kemerdekaan sementara Suriah dan Mesopotamia, seraya mengklaim memiliki mandat bagi pemerintahan mereka. Palestina terdiri dari distrik Suriah selatan pemerintahan Utsmaniyah. Di bawah hukum internasional yang lazim, pengakuan terlalu awal dari kemerdekaannya akan merupakan penghinaan kasar terhadap pemerintahan dari negara yang baru saja dideklarasikan. Ia dapat saja ditafsirkan sebagai pernyataan campur tangan akibat kurangnya sanksi Liga Bangsa-bangsa (cikal bakal PBB) terhadap mandat tersebut. Pada setiap kejadian, kemerdekaan sementaranya tidak disebutkan, walaupun kemudian berlanjut untuk ditunjuk sebagai Mandat Kelas A.

Perancis telah memutuskan untuk memerintah Suriah secara langsung, dan melakukan aksi untuk memaksakan mandat Perancis terhadap Suriah sebelum pasal-pasal (perjanjian) diterima oleh Dewan Liga Bangsa-bangsa. Perancis mengeluarkan ultimatum dan mengintervensi secara militer pada Pertempuran Maysalun pada Juni 1920. Mereka mendepak pemerintahan lokal Arab, dan menyingkirkan Raja Faisal dari Damaskus pada Agustus 1920. Inggris Raya juga menunjuk Pengawas Tinggi dan menetapkan rezim kemandatan mereka sendiri di Palestina, tanpa terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Dewan Liga Bangsa-bangsa atau mendapat wilayah yang melepaskan diri dari negara yang berdaulat sebelumnya, yaitu Turki.

Upaya-upaya untuk menjelaskan tindakan-tindakan Sekutu dilakukan pada Konferensi San Remo dan pada Kertas Putih Churchill 1922. Kertas Putih tersebut menyatakan posisi Inggris bahwa Palestina merupakan bagian dari wilayah-wilayah yang dikeluarkan dari ‘Suriah yang membentang ke barat dari Distrik Damaskus.’

Pengungkapan catatan-catatan rahasia ke publik

Lord Grey telah menjadi Menteri Luat Negeri selama negosiasi McMahon-Hussein. Berbicara di House of Lords pada 27 Maret 1923, ia menjelaskan bahwa, untuk bagiannya, ia merasakan keragu-raguan yang serius atas keabsahan penafsiran Pemerintahan Inggris (pemerintahan Churchill) atas pernyataannya, sebagai Menteri Luar Negeri, yang telah ia berikan kepada Sharif Hussein pada 1915. Ia meminta agar semua perundingan rahasia yang menyangkut Palestina dibuka ke publik.

Banyak dari dokumen-dokumen yang relevan di Arsip Nasional kemudian dinyatakan bukan lagi rahasia dan dipublikasikan. Di antaranya adalah berbagai jaminan kemerdekaan Arab yang diberikan oleh Menteri Peperangan, Lord Kitchener, Kuasa Muda India, dan lain-lainnya di Kabinet Perang. Catatan dari rapat Kabinet Komite Ketimuran, yang diketuai oleh Lord Curzon, diselenggarakan pada 5 Desember 1918 untuk mendiskusikan berbagai penanganan Palestina menjadi jelas bahwa Palestina belum dikeluarkan dari persetujuan dengan Hussein. Jenderal Jan Smuts, Lord Balfour, Lord Robert Cecil, Jenderal Sir Henry Wilson, Ketua Staf Jenderal Imperial dan perwakilan dari Kantor Luar Negeri, Kantor (urusan) India, Departemen Angkatan Laut, Kantor Peperangan, dan Departemen Keuangan hadir. T.E Lawrence juga hadir berdasarkan catatan yang dijelaskan oleh Lord Curzon:

“Posisi Palestina adalah ini. Jika kita bekerja sesuai dengan komitmen kita, pertama terdapat pernyataan umum kepada Hussein pada Oktober 1915, yang memasukkan Palestina ke dalam wilayah-wilayah yang Inggris Raya sendiri menyatakan bahwa mereka harus merupakan negara Arab dan merdeka di kemudian hari….Inggris Raya dan Perancis – Italia selanjutnya setuju – memberikan komitmen mereka bagi suatu pemerintahan internasional di Palestina dengan berkonsultasi dengan Rusia, yang merupakan sekutu pada waktu itu…Suatu corak baru dimasukkan pada November 1917, ketika Tuan Balfour, dengan otoritas Kabinet Perang, menerbitkan deklarasinya yang terkenal kepada Zionis bahwa Palestina harus merupakan rumah nasional bagi kaum Yahudi, tetapi bahwa tidak ada yang harus dilakukan – dan ini, tentu saja, merupakan suatu syarat yang penting – untuk mencurigai hak-hak sipil dan keagamaan dari masyarakat non-Yahudi di Palestina. Semua itu, sejauh yang saya ketahui, adalah perjanjian-perjanjian yang kita lakukan menyangkut Palestina.”

Pada 17 April 1964, The Times London memublikasikan potongan dari suatu memorandum rahasia yang telah dipersiapkan oleh Departemen Intelejen Politik dari Kantor Kementrian Luar Negeri untuk delegasi Inggris ke konperensi perdamaian Paris. Rujukan bagi Palestina disebutkan:

“Menyangkut Palestina. H.M.G dijanjikan oleh surat Sir Henry McMahon kepada Sharif pada 24 Oktober 1915, yang memasukkannya dalam batas-batas wilayah kemerdekaan Arab…tetapi mereka telah menyatakan kebijakan mereka menyangkut Tanah Suci Palestina dan kolonisasi Zionis dalam pesan mereka kepadanya pada 4 Januari 1918.”

Dokumen lain, yang merupakan sebuah pernyataan sementara untuk diajukan pada konperensi perdamaian, tetapi tidak pernah diajukan, mencatat:

Seluruh Palestina…terletak di dalam batas-batas yang telah dinyatakan sendiri oleh H.M.G kepada Sharif Hussein bahwa mereka akan mengakui dan menjunjung tinggi kemerdekaan negara-negara Arab.”

Penjelasan Lloyd George

Catatan yang dibuat Inggris selama Konperensi Dewan Empat yang berlangsung di apartemen Perdana Menteri di 23 Rue Nitot, Paris, pada Kamis, 20 Maret 1919, jam 3 sore memberikan kejelasan lebih lanjut. Catatan tersebut mengungkapkan bahwa:

§ Wilayah biru yang “memperbolehkan Perancis untuk menetapkan pemerintahan atau pengendalian langsung maupun tidak langsung sebagaimana yang mereka kehendaki yang mungkin dapat diatur dengan negara Arab atau Konfederasi Negara-negara Arab” tidak termasuk Damaskus, Homs, Hama, atau Aleppo. Pada wilayah A. Perancis bersiap-siap untuk mengakui dan mendukung sebuah negara Arab yang merdeka atau Konfederasi Negara-negara Arab.’

§ Sejak Perjanjian Sykes-Picot 1916, semua sistem kemandatan telah diterapkan. Jika sebuah mandat dijaminkan oleh Liga Bangsa-bangsa atas wilayah-wilayah ini, semua yang diminta Perancis adalah bahwa Perancis seharusnya menyisihkan bagian itu untuknya.

§ Lloyd George mengatakan bahwa ia tidak dapat melakukannya. Liga Bangsa-bangsa tidak dapat dipergunakan untuk menyisihkan tawar-menawar kami dengan Raja Hussein. Ia menanyakan kalau M. Pichon berminat untuk menduduki Damaskus dengan tentara Perancis? Jika ya, ini akan jelas merupakan pelanggaran terhadap Kesepakatan dengan pihak Arab. M. Pichon mengatakan bahwa Perancis tidak memiliki perjanjian dengan Raja Hussein. Lloyd George mengatakan bahwa kesemua perjanjian 1916 (Sykes-Picot), didasarkan pada surat dari Sir Henry McMahon kepada Raja Hussein.

§ Lloyd George, melanjutkan, mengatakan bahwa dengan dasar surat yang dikutip di ataslah bahwa Raja Hussein telah mengerahkan semua sumber dayanya ke medan (perang) yang telah menolong kita untuk mencapai kemenangan. Perancis untuk tujuan-tujuan praktis telah menerima upaya kita terhadap Raja Hussein dalam menandatangi perjanjian 1916. Ini bukanlah M. Pichon, melainkan para pendahulunya. Ia terhalang untuk mengatakan bahwa jika Pemerintah Inggris sekarang menyetujui bahwa Damaskus, Homs, Hama, dan Aleppo harus dimasukkan ke dalam wilayah pengaruh langsung Perancis, ini akan memutuskan saling percaya dengan orang Arab, dan mereka tidak dapat menerima ini.

§ Lloyd George secara khusus khawatir bahwa M. Clemenceau mengikuti ini. Perjanjian 1916 telah ditandatangani sebagai kelanjutan dari surat kepada Hussein. Dalam penyaringan berikutnya dari perjanjian 1916 Perancis mengakui kemerdekaan Arab: “Telah dipahami bersama antara Pemerintah Perancis dan Inggris – (1) bahwa Perancis dan Inggris Raya bersiap-siap untuk mengakui dan menjunjung tinggi kemerdekaan negara Arab atau Konfederasi Negara-negara Arab di wilayah A dan B yang ditandai pada lampiran peta di bawah penguasaan seorang Ketua Arab.” Jadi Perancis, dengan aksi ini, praktis mengakui perjanjian kita dengan Raja Hussein dengan mengeluarkan Damaskus, Homs, Hama, dan Aleppo dari wilayah biru dari pemerintahan langsung, untuk peta yang dilampirkan pada perjanjian memperlihatkan bahwa Damaskus, Homs, Hama dan Aleppo dimasukkan, tidak di dalam wilayah pemerintahan langsung, melainkan dalam negara Arab merdeka. M. Pichon mengatakan bahwa ini belum pernah digugat, tetapi bagaimana Perancis bisa diikat oleh sebuah perjanjian yang benar-benar nyata dan diketahuinya pada waktu ketika perjanjian 1916 tersebut ditantangani? Dalam perjanjian 1916 Perancis belum mengakui Hijaz dalam bentuk apa pun. Ia telah melakukan dukungan “suatu negara Arab atau Konfederasi Negara-negara Arab yang merdeka,” tetapi tidak untuk Raja Hijaz. Jika Perancis dijanjikan sebuah mandat untuk Suriah, ia akan melakukan sesuai perjanjian dengan negara Arab atau Konfederasi Negara-negara Arab. Inilah peran yang diinginkan Perancis di Suriah. Jika Inggris Raya hanya akan menjanjikan kepada Perancis kantor yang baik, ia percaya bahwa Perancis akan mencapai kesepakatan dengan Faisal.

Konsekuensi dari perjanjian tersebut

Perjanjian tersebut dilihat oleh banyak kalangan sebagai titik balik dalam hubungan Barat/Arab. Perjanjian tersebut mengabaikan janji-janji yang diberikan kepada pihak Arab melalui T.E. Lawrence bagi sebuah tanah air Arab di wilayah Suriah Raya, sebagai imbalan atas keberpihakan mereka dengan kekuatan Inggris melawan Imperium Utsmaniyah.

Pasal-pasal penting dalam perjanjian tersebut dikukuhkan kembali dalam konperensi antar-Sekutu di San Remo pada 19-26 April 1920 dan ratifikasi mandat Liga Bangsa-bangsa yang dihasilkan oleh Dewan Liga Bangsa-bangsa pada 24 Juli 1922.”

Selesai dari Wikipedia.

Sekarang kita tahu siapa “badut” sebenarnya yang telah memberontak kepada Khilafah Islam yang menaunginya dan “menjual dirinya” kepada Inggris serta melakukan tawar-menawar untuk mengapling-ngapling wilayah Khilafah Islam!

Wallahua’lam